(PERANG TAPANULI)
2.1 Latar Belakang Terjadinya Perlawanan
a.
Sebab umum.
- (Animisme dinamisme) atas penyebaran agama Kristen di Tapanuli.
- Adanya siasat Belanda dengan menggunakan gerakan Zending untuk menguasai
daerah Tapanuli.
- Alasan yang digunakan Belanda untuk menindas pejuang Padri dan
pemimpin-pemimpin Aceh banyak melarikan diri ke daerah Tapanuli.
b.
Sebab Khusus.
Penolakan Raja Si Singamangaraja ke-XII atas penyebaran agama Kristen di
daerah Tapanuli. Perang Tapanuli (1878-1907) terjadi karena kebijakan Belanda
di Nusantara, dan berlaku juga di Tapanuli, membuat rakyat mengalami
penderitaan yang hebat. Banyak para petani yang kehilangan tanah dan
pekerjaannya karena diberlakukannya politik liberal yang membebaskan kepada
para pengusaha Eropa untuk dapat menyewa tanah penduduk pribumi. Dan dalam
pelaksanaanya banyak penduduk pribumi yang dipaksakan untuk menyewakan tanahnya
dengan harga murah. Untuk itu Sisingamangaraja mengadakan perlawanan terhadap
Belanda.
Berikut beberapa alasan Sisingamangaraja XII mengadakan perlawanan terhadap
Belanda:
1. Pengaruh Sisingamangaraja semakin kecil.
2. Adanya
Zending atau misi penyebaran agama kristen di Tapanuli dan sekitarnya
3. Belanda
memperluas kekuasaannya dalam rangka Pax Netherlandica.
Sedangkan penyebab khusus
perlawanan adalah kemarahan sisingamangaraja atas penempatan pasukan Belanda di
Tarutung.
2.2 Tokoh / Pemimpin Perang
Pada tahun 1878, Belanda mulai
melancarkan gerakan militernya untuk menyerang daerah Tapanuli, sampai pada
akhirnya meletuslah Perang Tapanuli. Perang Tapanuli yang paling sengit itu
diawali dengan operasi militer yang dilakukan oleh Jenderal Van Daalen
di pedalaman Aceh tahun 1903-1904, kemudian dilanjutkan sampai daerah Tapanuli.
Serdadu Belanda yang mulai berdatangan di daerah Sumatera Utara dibendung oleh
rakyat Tapanuli yang dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII.
Pada tahun 1905, kedudukan
Raja Tapanuli semakin terjepit dalam menghadapi operasi militer Belanda yang
datang dari berbagai penjuru seperti dari arah utara (Aceh), barat (Sibolga),
dan selatan (Sumatera Barat). Pada tahun 1907, dalam suatu pertempuran yang
hebat, Raja Sisingamangaraja XII gugur dan seluruh wilayah Tapanuli dikuasai
oleh Belanda.
2.3 Proses Perlawanan
Sampai abad ke-18, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali
Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah
pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan
beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja
XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus
dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang
terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan.
Pada tahun 1877 para
misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah
kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian
pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang
markas Sisingamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh
Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878
pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig
Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah
pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan.
Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII,
yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan
penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878
datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels
sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara
pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei
1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta
pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara
para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan
kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda.
Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan
perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan
seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat
ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.
Karena lemah secara taktis,
Sisingamangaraja XII menjalin hubungan dengan pasukan Aceh dan dengan
tokoh-tokoh pejuang Aceh beragama Islam untuk meningkatkan kemampuan tempur
pasukannya. Dia berangkat ke wilayah Gayo, Alas, Singkel, dan Pidie di Aceh dan
turut serta pula dalam latihan perang Keumala. Karena Belanda selalu unggul
dalam persenjataan, maka taktik perang perjuangan Batak dilakukan secara
tiba-tiba, hal ini mirip dengan taktik perang Gerilya.
Pada tahun 1888,
pejuang-pejuang Batak melakukan penyerangan ke Kota Tua. Mereka dibantu
orang-orang Aceh yang datang dari Trumon. Perlawanan ini dapat dihentikan oleh
pasukan Belanda yang dipimpin oleh J. A. Visser, namun Belanda juga menghadapi
kesulitan melawan perjuangan di Aceh. Sehingga Belanda terpaksa mengurangi
kegiatan untuk melawan Sisingamangaraja XII karena untuk menghindari
berkurangnya pasukan Belanda yang tewas dalam peperangan.
Pada tanggal 8 Agustus 1889,
pasukan Sisingamangaraja XII kembali menyerang Belanda. Seorang prajurit
Belanda tewas, dan Belanda harus mundur dari Lobu Talu. Namun Belanda
mendatangkan bala bantuan dari Padang, sehingga Lobu Talu dapat direbut
kembali. Pada tanggal 4 September 1889, Huta Paong diduduki oleh Belanda.
Pasukan Batak terpaksa ditarik mundur ke Passinguran. Pasukan Belanda terus
mengejar pasukan Batak sehingga ketika tiba di Tamba, terjadi pertarungan sengit.
Pasukan Belanda ditembaki oleh pasukan Batak, dan Belanda membalasnya terus
menerus dengan peluru dan altileri, sehingga pasukan Batak mundur ke daerah
Horion.
Sisingamangaraja XII dianggap
selalu mengobarkan perlawanan di seluruh Sumatra Utara. Kemudian untuk
menanggulanginya, Belanda berjanji akan menobatkan Sisingamangaraja XII menjadi
Sultan Batak. Sisingamangaraja XII tegas menolak iming-iming tersebut, baginya
lebih baik mati daripada menghianati bangsa sendiri. Belanda semakin geram,
sehingga mendatangkan regu pencari jejak dari Afrika, untuk mencari
persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari
orang-orang Senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini
dijuluki “Si Gurbak Ulu Na Birong”. Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun
terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar,
sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat
Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta,
Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima
Sisingamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh
Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling
Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1906.
Tahun 1907, pasukan Belanda
yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Sisingamangaraja XII.
Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik
darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan
Belanda. Ikut tertangkap putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil.
Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII
juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan
lain-lain.
Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si
Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang
sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan
Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur
bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian.
Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan,
sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan
dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan. Gugurnya Sisingamangaraja
XII merupakan pertanda jatunya tanah Batak ke tangan Belanda.
2.4 Akhir Perlawanan
Yang awalnya pasukan Si Singa Mangaraja masih melakukan perlawana namun
tahun 1900 kekuatan Si Singa Mangaraja semakin surut. Sehingga perlawanna tidak
dikerahkan untuk melakukan penyerangan sebanyak mungkin melainkan memperthankan
diri dari serangan lawan selain penduduk daerah Dairi dan Pak – Pak Masih setia
kepada mereka. Selain itu Belanda juga melakukan gerakan pembasmi gerakan
– gerakan perlawanan yang ada diSumatera ( Aceh dan Batak). Operasi
diketuai oleh Overste Van Daelan yang bergerak dari Aceh terus ke Batak. Mereka
mengadakan pengepungan dan mebakar kamung – kampung yang membangkan pertempuran
semakin sengit antara kedua belah pihak.
Pada saat Belanda sampai di daerah pak – Pak dan Dairi pasukan Si
Singa Mangaraja semakin terkepung sedangkan di lain pihak hubungan mereka
dengan Aceh sudah terputus. Denga terdesaknya pasukan Si Singa Mangaraja
merka terus berpindah – pindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk
menyelamatkan diri. Tahun 1907 pengepungan yag dilakukan oleh Belanda terhadap
pasukan Si Singa Mangaraja dilakukan secara intensif yang dipimpin oleh
Hans Christoffel.
Dimulai menelusuri jejak Si Singa Mangaraja oleh Belanda namun merak gagal
menangkap Si Singa Mangaraja dan anak istri Si Singa Mangaraja ditawan oleh
Belanda. Boru Situmorang ibu Si Singa Mangaraja tertangkap dan dijadikan
tawanan perang oleh Belanda sementara itu Si Singa Mangaraja belum juga
mneyerahkan diri dan belanda terus mencari sampai tanggal 28 Mei pihak
belanda mengetahui bahwa Si Singa Mangaraja berada di Barus maka Wenzel
menarahkan pasukan untuk menangkapnya tetapi tidak berhasil.
4 Juni 1907 pihak Belanda mengetahui bahwa Si Singa Mangaraja berada di
Penegen dan Bululage dan mereka melakukan pengerebekan melalui Huta
Anggoris yang tak jauh dari panguhon. Ternyata Si Singa Mangaraja telah
meninggalkan tepat itu sebelum mereka datang. Si Singa Mangaraja terus menyikir
ke darah Alahan sementara itu Belanda terus mengejar melalui kampung Batu
Simbolon, Bongkaras dan Komi. Banyak penduduk sekitar ditangkap karena
dicurigai bekerjasma dengan Si Singa Mangaraja. Berbagai usaha yang dilakukan
Belanda tanggal 17 jJuni 1907 Si Singa Mangaraja berhasil ditangkap
didekat Aik Sibulbulon ( derah Dairi ) dalam keadaan lemah Si Singa Mangaraja
dan pasukanya terus mengadakan perlawanan. Dalam peristiwa Si Singa Mangaraja
tertebak oleh Belanda sehingga pada saat itu Si Singa Mangaraja mati terbunuh
ditempat. Disaat yang bersamaan anak perempuan dan dua putra laki – lakinya
juga gugur sedankan istri, ibu dan putra – putra masih menjadi tawana
perang oleh Belanda . dengan gugurnya Si Singa Mangaraja maka seluruh daerah
Batak menjadi milik Belanda. Sejak saat itu kerja rodi didaerah ini
meraja lelah struktur tradisional masyarakat semaki lama semakin runtuh.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Akhirnya pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan
Tuanku Imam Bonjol berhasil ditangkap, tetapi peperangan ini masih
berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu , yang waktu
itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Hancurnya
benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya
pindah kenegeri sembilan semenanjung malaya dan akhirnya peperangan ini
dianggap selesai karena sudah tidak ada perlawanan yang berarti.
3.2 Saran
Semoga dengan dibuatnya
makalah ini, kita bisa mengetahui bagaimana susahnya pejuang Indonesia zaman
dahulu merebut NKRI, dari bertaruh harta maupun nyawa. Janganlah melupakan jasa
pahlawan yang telah gugur dalam membela Indonesia dan semoga kita bisa
mengambil nilai-nilai luhur dari mereka.
0 komentar:
Posting Komentar