Menyukai dan tidak menyukai Penyakit

Beberapa hari ini terkena demam cukup parah (siklus tahunan).
Kedatangan penyakit ini saya sukai sekaligus tidak disukai.
Tidak disukai karena rasanya tidak karuan...
Saya sukai karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut penyakit yang menimpa seorang muslim sebagai thahûr (pembersih dosa) atau kaffârah (pelebur dosa).
“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan, dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika dia mendapat kegembiraan, maka dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya, dan jika mendapat kesusahan, maka dia bersabar dan ini merupakan kebaikan baginya. (HR. Muslim)
”Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengannya dosa-dosanya. (HR. Muslim)
”Janganlah kamu mencaci maki penyakit demam, karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan mengahapuskan dosa-dosa anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi." (HR. Muslim)
“Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin dari api neraka.” (HR. Al Bazzar, shohih)
“Sesungguhnya Allah ta’ala jika mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberi mereka cobaan.” (HR. Tirmidzi, shohih).
Ingat pula Sabda Nabi shallallhu 'alaihi wasallam :
"Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang yang paling baik (setelahnya), lalu orang yang paling baik (setelahnya). Maka siapa yang agamanya berbobot, cobaannya juga berat. Siapa yang agamanya lemah, cobaannya juga ringan. Dan sungguh seseorang akan terus ditimpa cobaan, hingga dia berjalan di tengah-tengah manusia tanpa dosa sedikitpun". [Shohihul Jami: 993].
Jangan lupa juga perkataan Syeikh Abdul Qodir Jaelani rahimahullah :
"Wahai anak kecilku, sungguh musibah itu datang BUKAN untuk membinasakanmu, namun dia datang untuk menguji kesabaran dan imanmu. Wahai anak kecilku, cobaan itu (ibarat) hewan buas, dan hewan buas itu tidak akan memangsa bangkai". [Zadul Ma'ad, Ibnul Qoyyim, 4/178].

0 komentar:

My Instagram